Hallo kawan....
Apa kabar nih kalian di tengah pandemi ini? Semoga selalu sehat yaaa..
Nahh, disini mimin mau bagi informasi tentang kebudayaan nih...
Setidaknya menyegarkan informasi kita dari topik COVID-19....:)
So, tunggu apalagi? Yuk dibaca artikel berikut ini....
Bali merupakan
salah satu daerah di Indonesia yang kuat akan sosial-budayanya melalui berbagai
tradisi kental dan khas. Tradisi yang kental ini mesti dijaga agar tetap
lestari di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi. Ditambah lagi
dengan kedatangan para perantau dari daerah-daerah lain yang tentunya membawa
berbagai keragaman yang baru. Bertambahnya keragaman di Bali berpotensi
menimbulkan berbagai perselisihan antarwarga. Contoh perselisihan yang bisa terjadi
di masyarakat adalah timbulnya rasa kurang peduli atau sikap apatis terhadap
tetangga sekitar. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahpahaman antartetangga,
membuat kelompok-kelompok tertentu antarwarga dan terjadinya penindasan
terhadap kaum minoritas.
Beberapa kasus
intoleransi di Indonesia yang cenderung melanggar hukum dan terjadi baru-baru
ini seperti dirusaknya patung di Pura Lumajang menggunakan kapak oleh orang
yang tidak dikenal, terjadi tepat pada 18 Februari 2018 lalu. Dalam jangka
waktu 1 hari, kasus intoleransi juga terjadi di Lamongan yaitu penyerangan
terhadap seorang kiai yang diserang oleh seorang pria yang berlagak gila
(Rochmanudin, 2018). Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa intoleransi di Indonesia
sudah mulai meningkat. Tentunya, kasus seperti ini harus segera diselesaikan,
mengingat begitu sulit mempersatukan masyarakat dalam keberagaman.
Salah satu upaya
yang dapat dilakukan guna menjaga toleransi dalam keberagaman adalah melalui
tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang, terutama tradisi yang sarat akan
persatuan dalam keberagaman. Bali sebagai daerah yang dikenal dengan julukan
Pulau Dewata, penuh dengan tradisi, adat maupun budaya. Banyak tradisi yang
dimiliki oleh Bali yang mengandung makna pemersatu keberagaman. Salah satu
tradisi di Bali yang dapat dijadikan solusi dalam penanganan intoleransi adalah
tradisi ngejot. Tradisi ini baru
dikenal oleh sebagian masyarakat di Bali.
Tradisi ngejot dilaksanakan sebagai bentuk rasa
syukur atas berkah yang diperoleh serta bentuk peduli bagi masyarakat sekitar,
terutama masyarakat yang berbeda agama. Pada umumnya, ngejot bagi umat Hindu di Bali adalah memberi makanan kepada
tetangga saat ada upacara keagamaan, seperti Hari Raya Galungan dan Hari Raya
Kuningan. Tidak hanya itu, umat Hindu Bali juga melakukan ngejot ketika memiliki kegiatan keagamaan di lingkup keluarga,
misalkan Upacara Pawiwahan, Upacara Mepandes, dan peringatan enam bulanan (Otonan). Makanan yang diberikan berupa
kue, buah-buahan, lawar, urap, dan
daging. Di Bali, masyarakat yang masih kental melaksanakan tradisi ini adalah
masyarakat Desa Pegayaman Buleleng, Desa Budakeling Karangasem, Desa Petang
Badung, Kepaon dan Serangan Denpasar serta Desa Loloan di Jembrana (Astawa,
2015). Daerah-daerah ini merupakan daerah yang penduduknya memiliki kepercayaan
yang berbeda-beda.
Tradisi ngejot di Bali tidak hanya dilakukan
oleh masyarakat untuk tetangga dengan agama yang sama. Tradisi ini juga merambah
ke masyarakat non-Hindu, sehingga terjadi timbal balik antar umat beragama di
Bali. Tidak jauh berbeda dengan umat Hindu Bali, umat Muslim di Bali juga
melakukan tradisi ngejot saat
perayaan hari besar keagamaannya. Dalam kepercayaan Islam, ngejot sama dengan melakukan sedekah. Umat Islam memberikan sedekah
berupa makanan, seperti kue dan buah-buahan.
Seperti ulasan
di atas, Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng yang merupakan salah satu Desa
Muslim di Bali masih mampu menjada tradisi ngejot
sebagai salah satu tradisi yang ada di Bali. Sejarah ngejot dari Desa Pegayaman yakni berawal dari penduduk muslim Desa
Pegayaman merupakan prajurit tangguh milik Kerajaan Buleleng yang berasal dari
luar Pulau Bali. Keberadaan mereka yang cukup lama di Bali, hingga berabad-abad
menyebabkan kebiasaan dan budaya mereka berdampingan dengan umat Hindu di Bali.
Salah satunya adalah tradisi ngejot, yaitu
memberikan sedekah atau kewajiban membawakan makanan ke sejumlah keluarga dan
kerabat dekat maupun tetangga. Warga juga meyakini tradisi ngejot sekaligus sebagai doa. Sedekah bisa dilakukan dengan cara
apapun, membawakan makanan kepada tetangga juga termasuk sedekah (Xiang, 2015).
Tradisi ngejot jika ditelaah lebih dalam lagi
akan memiliki makna yang lebih berarti. Secara nyata, ngejot menunjukkan cermin kehidupan masyarakat Bali yang saling
berbagi, tolong menolong dan cerminan rasa syukur. Kemudian lebih dari itu, ngejot akan mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Makna pertama yang dapat diambil dari tradisi ngejot adalah adanya kebersamaan dan
kekerabatan yang akrab antarumat beragama di Bali. Kekerabatan ini akan
menjalin suatu tali persaudaraan yang baik, sehingga kehidupan masyarakat dalam
keberagaman dapat berjalan harmonis. Hal ini menunjukkan sejauh mana kerukunan
umat beragama di Bali.
Selain itu,
terdapat pembauran budaya di dalam tradisi ngejot,
yakni pembauran budaya antara umat Hindu di Bali dengan umat beragama lainnya.
Masyarakat tentunya akan hidup saling berdampingan, tanpa ada perselisihan
antar umat beragama. Apabila masyarakat mampu hidup saling berdampingan, maka
kondisi aman, nyaman dan tentram akan dirasakan oleh semua pihak, karena tidak
ada diskriminasi antara penduduk mayoritas terhadap penduduk minoritas. Dalam
konteks perayaan hari raya keagamaan, ngejot
mampu mengantarkan masyarakat menyebarkan kebahagiaan menjelang hari raya.
Selain perayaan hari raya keagamaan, ngejot
juga dapat dijadikan sebagai salah satu wadah perayaan keberagaman di Bali,
sehingga mampu menjaga tradisi Bali di tengah perkembangan arus teknologi yang
deras. Pada akhirnya, ngejot dapat
dijadikan penegasan bahwa di Bali tidak hanya terdiri dari umat Hindu,
melainkan terdiri dari umat beragama yang berbeda, namun tetap menjaga
kerukunan dan toleransi.
Toleransi di
Indonesia berkembang sejak dulu, yang merupakan budaya turun-menurun dari nenek
moyang. Toleransi adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling
menghormati dan saling bekrjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang
berbeda baik secara etnis, budaya, politik maupun agama (Nasrun, 2018). Ngejot sebagai salah satu tradisi bangsa
dapat dijadikan tonggak awal dalam menjaga toleransi yang ada di Indonesia.
Kedua hal ini dapat digabungkan guna memperkuat persatuan keberagaman di
Indonesia. Ngejot sebagai wujud nyata
toleransi keberagaman dalam kehidupan masyarakat mampu memberikan dampak postif
bagi yang melaksanakan. Dalam pelaksanaan ngejot
akan tertuang sikap saling menghormati. Hal ini secara umum dibuktikan
dengan saling memberi makanan antar umat beragama saat hari besar keagamaan.
Semua kegiatan ini dilaksanakan tidak berdasarkan ras, melainkan rasa
kebersamaan yang sudah melekat di dalam jiwa masyarakat Bali.
Tradisi ngejot yang identik dengan Bali juga
memiliki daya tarik sendiri bagi dunia luar, baik dari wisatawan mancanegara,
sosiolog dan budayawan belahan dunia. Sebagai contoh, para budayawan dapat
melakukan riset tentang dampak positif dari tradisi ngejot yang ada di Bali. Nantinya, mereka dapat menjadikan sebuah
bacaan literatur dan secara lebih lanjutnya dapat dikembangkan di daerah
masing-masing. Melalui riset ini akan membuat salah satu tradisi di Bali yaitu ngejot dikenal oleh masyarakat luas.
Tradisi ini juga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik
maupun mancanegara untuk berkunjung ke Bali tidak hanya melihat keindahan alam
dan budaya yang sudah dikenalnya. Melainkan, dapat mengenal budaya Bali yang
terpendam, seperti ngejot sebagai
cerminan keberagaman umat di Bali.
Berbagai ulasan di atas menunjukkan begitu penting tradisi turun temurun dari nenek moyang dalam menjaga keutuhan toleransi di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Ngejot sebagai salah satu warisan tradisi Bali mampu mengantarkan masyarakat yang melaksanakannya hidup dengan penuh kedamaian dan menjunjung tinggi arti penting sebuah toleransi. Tradisi nenek moyang yang berasal dari daerah-daerah seperti tradisi ngejot ini dapat diterapkan di seluruh penjuru tanah air dalam upaya pemersatuan keberagaman yang ada di Indonesia. Mengingat mulai terjadi pergeseran toleransi menuju intoleransi dalam jiwa masyarakat Indonesia yang mulai terbawa arus zaman.
Daftar Pustaka